Jumat, 09 Januari 2009

DIA PERGI, DIA MENINGGALKAN-KU, DAN DIA MENGHILANG…


Madiun, 7th July 2003
Hari itu, aku masih ingat betul. Dia datang dengan membawa setangkai mawar merah, meski ku tak begitu suka, tapi dengan senyum termanis-ku coba memberikan itu padanya. Senyum yang hanya bisa aku berikan pada seorang saja. Dengan menutup mataku menggunakan sehelai kain, dia membawaku ke sebuah tempat. Yang kurasakan sangat dingin, udaranya masih suci, dan angin yanng berhembus pun sangat bersahabat. Sepertinya dia telah memblocking tempat ini untuk kita berdua. Semua terasa sangat indah dan damai. Kesejukan yang diberikan Tuhan pada hari yang spesial ini.
Dia menuntun ku, dan membiarkan ku sejenak meresapi dan menghayati keadaan. Mencium aroma pinus yang ku rindukan. Membayangkan kebahagiaan yang akan ku dapat. Mungkin akan menjadi sangat sempurna jika dia mengijinkan-ku untuk segera membuka tutup mataku.
“Sayang sudah siap?” tanyanya.
Aku hanya menjawab dengan anggukan kecil serta senyum tipis. Mata-ku pun terbuka, dan dengan leluasa aku bisa melihat apa yang tadi aku bayangkan. Ternyata tak seindah yang ku harap. Melainkan begitu indah, sangat indah! Melebihi indahnya dari apa yang aku kira. Subhanallah... ku ucap lirih di bibir, dan ku teriakkan pada hati-ku. Biar semua penghuni kolong langit terbangun mendengar teriakanku, dan mereka ikut menyaksikan keindahan yang sekarang ada di depan mataku ini.
“Bagaimana? Ryda suka?”
“Suka banget mas! Pemandangannya indah, sempurna!” dengan semangat kegembiraan-ku tunjukkan padanya. Sungguh inilah kado terindah dalam hidup-ku. Kado istimewa dari seorang yang istimewa.
“Masih ada satu kejutan lagi buat Ryda. Ryda tunggu sebentar ya!”
Kejutan lagi? Kejutannya apa ya? Ryda penasaran. Mas Syarif memang orang yang romantis. Dia suka memberi kejutan ke Ryda. Kali ini kejutannya apa lagi ya? Apa dia mau ngasih Ryda buku psikologi yang udah lama Ryda incer? Atau mungkin malah buku bahasa Inggris yang harganya selangit itu? Wah...pasti Ryda seneng banget kalau memang itu kajutannya.
Dia menuju ke mobil dan menyuruh-ku untuk menunggu sebentar di sini. Aku terus membayangkan kejutan yang akan diberikan Mas Syarif padaku. Dia kembali dengan tangan kosong. Aku pun cemas, apa kejutannya gagal? Ah, nggak asyik!
Dia menyuruhku untuk menutup mata lagi.
“Emangnya kita mau main petak umpet apa mas? Dari tadi nutup mata terus.?” Protesku.
“Udah, nggak usah banyak protes! Cepetan, tutup mata!”
Aku pun menutup mataku seperti yang diperintahkannya. Sayup-sayup ku dengar teriakan orang-orang yang ku kenal. Mereka menyanyikan sebuah lagu yang juga akrab di telingaku. Aku ingin segera mengetahuinya, tapi Mas Syarif melarangku.
Ya, sekarang aku tahu dan aku yakin. Mereka adalah teman-teman Mas Syarif. Tapi dari mana mereka datang? Karena penasaran, Aku pun melanggar peraturan. Aku segera membuka mata. Mereka masing-masing membawa kotak. Ada yang berwarna pink, ungu, kuning, dan yang terakhir biru. Hatiku bertanya, kenapa yang biru itu yag paling kecil ya? Tapi yang paling kecil pasti yang keistimewaanya paling kecil juga.
“Nah, sekarang silakan Ryda buka kadonya. Terserah dimulai dari yang mana dulu.”
“Sekarang ya? Ya udah, Ryda pengen buka yang ungu dulu. Isinya apa ya?”. Wow, boneka dophin biru yang lucu. Ryda kasih nama siapa ya? Gimana kalau Phin-Phin? Sekarang kotak kedua yang berwarna kuning. Isinya juga boneka, tapi boneka beruang. Ryda kasih nama Junior. Kalau ditanya Seniornya siapa? Ya mas Syarif. Sureprise…kotak ketiga berisi buku yang Ryda inginkan. Buku psikologi dan bahasa inggris yang sangat Ryda idamkan. Kotak terakhir apa ya isinya? Palingan juga coklat, seperti biasa. Ternyata benar, itu coklat kesukaan Ryda.
“Mas masih punya satu lagi buat Ryda. Ini dia....”
“Mas, ini liontin yang Ryda bilang kemarin? Mas jadi beli buat Ryda?”
Terik semakin tinggi. Kabut pun telah kembali ke peraduannya. Hangat datang menyelimuti-ku yang dari tadi menggigil karena suhu yang terlalu rendah.
“Jadi naik?” Tanya salah seorang teman mas Syarif.
“Jadi dong. Kan sayang udah sampai sini gak naik. Ryda ikut?”
“Nggak usah naik lah! Kan cuaca juga lagi nggak bersahabat. Ntar kalau tiba-tiba ada badai gimana?”
“Ya jangan berdoa gitu! Berdo’a yang baik-baik saja. Biar kita baik-baik juga. Ya udah, kalau Ryda nggak mau ikut Ryda tunggu di mobil saja sama Teh Aisy.”
“Nggak usah berangkat! Perasaan Ryda nggak enak. Kita pulang aja ya!”
“Ryda, ini kan bukan yang pertama bagi mas naik ke puncak. Ryda juga pernah ikut kan? Nggak ada yang perlu di khawatirkan. Gini aja. Nanti di atas mas carikan tanaman yang paling langka. Itu akan jadi kado terindah dan terspesial buat Ryda. Gimana?”
Dengan berat hati ku biarkan dia pergi dengan teman-temannya. Dia pergi ke atas puncak dengan senyum yang menyayat hati-ku. Entah kenapa rasanya ini bukanlah hal yang seperti biasanya. Senyumnya, seperti senyum kemenangan hidup. Lambaian tangannya, seperti lambaian tangan perpisahan. Dan air mata yang ku teteskan, seperti air mata kehilangan.
Dia semakin hilang dari pandangan-ku. Jauh dari gapaian tangan-ku. Dan aku pun memutuskan untuk menunggunya di mobil, seperti yang diperintahkannya tadi. Aku terus memandangi liontin yang diberikannya tadi. Tapi tiba-tiba….. Liontinnya hilang. Ya Allah, apa yang terjadi dengan mas Syarif? Aku terus mencari liontinnya. Tapi nihil, tidak berhasil. Aku menangis, sedih. Aku merasakan kehilangan hebat. Dan kurasakan sebuah bisikan halus menyapa-ku. Memaksaku keluar dari mobil. Banyak orang lari ke atas. Entah ada apa.
“Ada dua orang pendaki terpeleset ke jurang. Untungnya mereka masih selamat.” Teriak salah seorang dari mereka. Dua orang? Kalau itu rombongan mas Syarif, seharusnya kan mereka itu ada tiga. Pikiran-ku pun tak tenang. Aku coba menghubungi HP mas Syarif. Tak ada jawaban. Berkali kucoba, tetap sama. Ku putuskan untuk menyusul ke atas, tapi Teh Aisy melarangku. Aku tak peduli. Ku terus berlari ke atas, hingga ku temui tim sar membawa dua korban yang jatuh ke dalam jurang. Kalau mereka berdua telah ditemukan seharusnya mas Syarif juga ditemukan. Aku meminta kepada tim sar untuk kembali melakukan penyisiran tapi mereka menolak dengan alasan cuaca buruk dan sudah tidak ada kemungkinan untuk bisa menemukan korban terakhir. Aku memaksa, mereka juga semakin keras menolak. Ya Allah, dimana Mas Syarif? Tunjukkan padaku dimana keberadaan kakakku?
Aku mencoba meyakinkan diri. Aku yakin dia pasti sudah sampai puncak dan sedang mengambil tanaman langka itu untukku. Berhari ku menunggu, menunggu, dan selalu sama, aku menunggu. Dan kenyataan pun tak berubah. Dia memang sudah pergi, kala itu dia meninggalkanku tanpa mau mendengar saranku. Hingga akhirnya dia harus menghilang dibawa angin. Terbang ke atas, dan semakin ke atas. Dia pergi meninggalkanku untuk selamanya. Dan dia menghilang entah kemana? Tanpa membawaku, yang dia bilang akulah adhek tersayangnya. Yang akan selalu menemani hidupnya. Dia hilang. Aku sepi.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar